Tidaklah berlebihan
jika tahun ini dikatakan sebagai tahun yang berat bagi perbankan dalam
menghadapi kecurangan dan kejahatan yang menimpa dirinya. Ya, fraud yang bisa
diartikan sebagai kecurangan dan kejahatan di perbankan tampaknya sudah sedemikian
mewarnai industri itu sepanjang tahun ini.
Berdasarkan catatan
dari Kepolisian Republik Indonesia, ada sederet kasus besar yang menimpa
perbankan dengan nilai kerugian miliaran rupiah hingga Oktober 2011. Dibuka
dengan kasus pemberian kredit dengan dokumen dan jaminan fiktif pada Bank
Internasional Indonesia (BII) pada 31 Januari 2011. Kasus itu melibatkan
account officer BII Cabang Pangeran Jayakarta bernama Demy Tridiono Prayitno.
Modusnya uang deposito Rp3,7 miliar tidak disetorkan ke BII melainkan
dimasukkan ke rekening pribadinya.
Kasus fraud juga
menimpa bank terbesar di negeri ini, Bank Mandiri. Lima orang, salah satunya
bernama Rika, customer service bank tersebut berhasil melakukan pencairan
bilyet deposito tiga nasabah dan ditransfer ke rekening lain. Para pelaku
memalsukan tanda tangan di slip penarikan Mandiri cabang Jakarta selatan.
Kerugian dari kasus ini mencapai Rp18,7 miliar.
Kemudian kasus fraud
juga nyaris membuat Bank Negara Indonesia (BNI) cabang Gambir bobol. Seorang
wakil kepala cabang BNI Margonda, Depok, JKD dan tiga pelaku lainnya mengirim
telex berisi tandatangan dan stempel yang seolah ada perintah dari pusat kepada
BNI Gambir agar membuka rekening pinjaman kepada PT Bogor Jaya Elektrindo
senilai Rp4,5 miliar. Namun usahanya gagal, telex palsu yang dikirim sindikat
ini terbongkar oleh petugas BNI Gambir.
Selanjutnya kasus fraud
pencairan deposito Rp6 miliar milik nasabah oleh pengurus BPR Pundi Artha
Sejahtera, Bekasi, Jawa Barat. Pada saat jatuh tempo, nasabah yang ingin mencairkan
depositonya dijawab bahwa dananya sudah tidak ada. Kasus ini melibatkan
Direktur Utama BPR, dua komisaris, komisaris utama, dan seorang pelaku dari
luar bank.
Kasus fraud yang lain
terjadi berturut-turut terjadi pada Bank Danamon Cabang Menara, Bank Panin
Cabang Metro Sunter dan Bank CIMB Niaga. Di Bank Danamon, modusnya head teller
bank itu menarik uang kas nasabah berulang-ulang sebesar Rp1,9 miliar dan
110.000 dollar AS. Di Bank Panin, kepala cabangnya berhasil menggelapkan dana
nasabah Rp2,5 miliar dan mengalirkan dana tersebut ke rekening pribadi.
Sementara di Bank Niaga, terjadi pembobolan Rp234 miliar yang dilakukan dengan
modus memasukkan surat-surat atau dokumen-dokumen palsu sebagai persyaratan
dalam mengajukan kredit. Pembobolan bank tersebut murni dilakukan oleh pihak
luar, yakni dilakukan oleh Umi Kalsum (Direktur Utama PT Nurama Indotama).
Kasus fraud yang cukup
besar terjadi di 2011 yakni konspirasi antara Kepala Cabang Bank Mega Jababeka
dan Direktur Keuangan PT Elnusa Tbk. Nilai kerugiannya Rp111 miliar sehingga
cukup disorot. Kasus ini terbongkar setelah Elnusa mempertanyakan dana yang
ditempatkan di Bank Mega dalam bentuk deposito berjangka. Dana di deposito
tersebut telah raib atau dicairkan tanpa sepengetahuan pihak perseroan. Kasus
ini sekaligus membongkar kasus lain, yakni hilangnya dana Pemkab Batubara
sebesar Rp80 miliar yang juga dibobol Itman Harry Basuki.
Namun yang paling
menghebohkan sepanjang 2011 ini adalah dua kasus di Citibank. Kasus Citibank
pertama yakni tewasnya SekJend Pemersatu Bangsa Irzen Okta yang diduga karena
aksi penganiayaan yang dilakukan oleh para debt collector yang bekerja untuk
Citibank. Korban sebelumnya datang kekantor Citibank untuk menyelesaikan
tunggakan kreditnya sebesar Rp48 juta yang kemudian ternyata membengkak menjadi
Rp100 juta.
Kasus Citibank yang
kedua yakni pembobolan dana nasabah prioritas senilai Rp16,6 miliar. Selain
nilainya, kejadian ini menjadi heboh karena korbannya merupakan nasabah
prioritas yang seharusnya dari segi keamanan lebih terjamin. Pelakunya tak lain
dari senior relationship manager (RM) Citibank Landmark, Inong Malinda Dee.
Modus kejahatan Inong adalah menarik dana nasabah tanpa sepengetahuan pemilik
melalui slip penarikan kosong yang sudah ditandatangani nasabah. Aksinya
tersebut dibantu oleh seorang teller bank tersebut.
Sepertinya kasus-kasus
yang terjadi di dunia perbankan ditutup dengan sanksi dari Bank Indonesia (BI)
selaku pengawas perbankan. Kedua kasus yang menimpa Citibank telah berakhir
dengan putusan BI. Sanksi yang diberikan berupa larangan menerima nasabah
prioritas selama satu tahun, stop kartu kredit selama dua tahun dan larangan
menggunakan jasa outsourcing atas tagihan kredit selama dua tahun. Sanksi
terakhir, Citibank dilarang buka cabang selama setahun dan beberapa
eksekutifnya dilakukan uji kelayakan (fit and proper test) kembali.
Dari paparan
kasus-kasus fraud di atas terlihat bahwa pelakunya ternyata selalu melibatkan
orang dalam. “(Sebanyak) 60 persen kejahatan di perbankan dilakukan orang dalam,”
kata Perhimpunan Bank Umum Nasional Sigit Pramono.
ANTI FRAUD
Berulangnya kasus fraud
perbankan dari tahun ke tahun mendorong BI untuk menerbitkan Peraturan Bank
Indonesia (PBI) Anti Fraud. Kabarnya PBI ini akan berlaku serta wajib dipatuhi
seluruh bank pada 2012.
PBI ini berisi
pedoman-pedoman yang harus ditetapkan dalam sistem pengendalian internal bank.
Pedoman tersebut harus mencakup empat tahap, yaitu: Pertama, tahap preventif
yang mencakup penguatan governance, pengawasan aktif dari manajemen, dan
penerapan prinsip know your employee. Selama ini, mungkin yang dikenal oleh
petugas perbankan hanya Know Your Customer (KYC), yaitu bagaimana menjalankan
prinsip kehati-hatian perbankan dengan mengedepankan kejelasan dari dana dan si
nasabah yang akan menabung, tetapi kini telah bertambah dengan prinsip baru
yaitu Know Your Employee.
Kedua, tahap deteksi,
termasuk whistleblowing system, fraud data, dan pelaporannya. Ketiga, tahap
investigasi yang meliputi standar investigasi, evaluasi kelemahan sistem, dan
pengenaan sanksi. Dan keempat, tahap monitoring yang meliputi evaluasi mengenai
asesmen dan appetite risiko fraud yang terjadi di bank.
Peneliti Eksekutif
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) BI Ahmad Berlian
mengatakan, kasus-kasus fraud perbankan sepanjang 2011 memang cukup
mencengangkan. Terutama apa yang menimpa Citibank. Dalam kasus Malinda Dee,
menurutnya priority banking memang cukup rawan karena dalam segmen itu, nasabah
menuntut kemudahan, sehingga menimbulkan peluang untuk berbuat kejahatan.
“Ke depan banyak hal
yang harus disempurnakan, apakah membatasi jumlah relation manager, memberikan
edukasi lebih banyak kepada nasabah, atau transparansi produk-produk yang
ditawarkan. Setiap orang harus sadar apa yang dia beli dan bank wajib
men-declare tingkat risikonya,” jelas Ahmad.
Selain PBI Anti Fraud,
tahun depan juga akan dibuat peringkat fraud bank-bank di Indonesia yang
digagas Lembaga Perbankan Asia Anti Fraud (AAAAF). Setidaknya pemeringkatan ini
menjadi kabar gembira bagi masyarakat yang menjadi nasabah bank. Namun tidak
bagi bank.
Pengamat perbankan dari
Indef, Aviliani, mengatakan rating fraud di industri perbankan dapat memberikan
dampak negatif bagi industri apabila dipublikasikan kepada publik, terutama di
bank yang rating fraud-nya besar. “Nanti ada masalah sistemik yang seharusnya tidak
terjadi. Sebab, masyarakat kita tipikalnya kalau mendengar sesuatu yang negatif
akan kaget. Masyarakat Indonesia belum siap untuk rating fraud ini. Mereka akan
beramai-ramai menarik dananya (rush) di bank yang rating fraud-nya tinggi,”
jelas dia.
Imbasnya, lanjut
Aviliani dalam jangka panjangnya dana
masyarakat yang ditarik itu akan membuat kondisi bank menjadi tidak stabil dan
pada akhirnya merepotkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kecuali kalau rating
dilakukan Bank Indonesi (BI) sendiri. SP
Tidaklah berlebihan
jika tahun ini dikatakan sebagai tahun yang berat bagi perbankan dalam
menghadapi kecurangan dan kejahatan yang menimpa dirinya. Ya, fraud yang bisa
diartikan sebagai kecurangan dan kejahatan di perbankan tampaknya sudah sedemikian
mewarnai industri itu sepanjang tahun ini.
Berdasarkan catatan
dari Kepolisian Republik Indonesia, ada sederet kasus besar yang menimpa
perbankan dengan nilai kerugian miliaran rupiah hingga Oktober 2011. Dibuka
dengan kasus pemberian kredit dengan dokumen dan jaminan fiktif pada Bank
Internasional Indonesia (BII) pada 31 Januari 2011. Kasus itu melibatkan
account officer BII Cabang Pangeran Jayakarta bernama Demy Tridiono Prayitno.
Modusnya uang deposito Rp3,7 miliar tidak disetorkan ke BII melainkan
dimasukkan ke rekening pribadinya.
Kasus fraud juga
menimpa bank terbesar di negeri ini, Bank Mandiri. Lima orang, salah satunya
bernama Rika, customer service bank tersebut berhasil melakukan pencairan
bilyet deposito tiga nasabah dan ditransfer ke rekening lain. Para pelaku
memalsukan tanda tangan di slip penarikan Mandiri cabang Jakarta selatan.
Kerugian dari kasus ini mencapai Rp18,7 miliar.
Kemudian kasus fraud
juga nyaris membuat Bank Negara Indonesia (BNI) cabang Gambir bobol. Seorang
wakil kepala cabang BNI Margonda, Depok, JKD dan tiga pelaku lainnya mengirim
telex berisi tandatangan dan stempel yang seolah ada perintah dari pusat kepada
BNI Gambir agar membuka rekening pinjaman kepada PT Bogor Jaya Elektrindo
senilai Rp4,5 miliar. Namun usahanya gagal, telex palsu yang dikirim sindikat
ini terbongkar oleh petugas BNI Gambir.
Selanjutnya kasus fraud
pencairan deposito Rp6 miliar milik nasabah oleh pengurus BPR Pundi Artha
Sejahtera, Bekasi, Jawa Barat. Pada saat jatuh tempo, nasabah yang ingin mencairkan
depositonya dijawab bahwa dananya sudah tidak ada. Kasus ini melibatkan
Direktur Utama BPR, dua komisaris, komisaris utama, dan seorang pelaku dari
luar bank.
Kasus fraud yang lain
terjadi berturut-turut terjadi pada Bank Danamon Cabang Menara, Bank Panin
Cabang Metro Sunter dan Bank CIMB Niaga. Di Bank Danamon, modusnya head teller
bank itu menarik uang kas nasabah berulang-ulang sebesar Rp1,9 miliar dan
110.000 dollar AS. Di Bank Panin, kepala cabangnya berhasil menggelapkan dana
nasabah Rp2,5 miliar dan mengalirkan dana tersebut ke rekening pribadi.
Sementara di Bank Niaga, terjadi pembobolan Rp234 miliar yang dilakukan dengan
modus memasukkan surat-surat atau dokumen-dokumen palsu sebagai persyaratan
dalam mengajukan kredit. Pembobolan bank tersebut murni dilakukan oleh pihak
luar, yakni dilakukan oleh Umi Kalsum (Direktur Utama PT Nurama Indotama).
Kasus fraud yang cukup
besar terjadi di 2011 yakni konspirasi antara Kepala Cabang Bank Mega Jababeka
dan Direktur Keuangan PT Elnusa Tbk. Nilai kerugiannya Rp111 miliar sehingga
cukup disorot. Kasus ini terbongkar setelah Elnusa mempertanyakan dana yang
ditempatkan di Bank Mega dalam bentuk deposito berjangka. Dana di deposito
tersebut telah raib atau dicairkan tanpa sepengetahuan pihak perseroan. Kasus
ini sekaligus membongkar kasus lain, yakni hilangnya dana Pemkab Batubara
sebesar Rp80 miliar yang juga dibobol Itman Harry Basuki.
Namun yang paling
menghebohkan sepanjang 2011 ini adalah dua kasus di Citibank. Kasus Citibank
pertama yakni tewasnya SekJend Pemersatu Bangsa Irzen Okta yang diduga karena
aksi penganiayaan yang dilakukan oleh para debt collector yang bekerja untuk
Citibank. Korban sebelumnya datang kekantor Citibank untuk menyelesaikan
tunggakan kreditnya sebesar Rp48 juta yang kemudian ternyata membengkak menjadi
Rp100 juta.
Kasus Citibank yang
kedua yakni pembobolan dana nasabah prioritas senilai Rp16,6 miliar. Selain
nilainya, kejadian ini menjadi heboh karena korbannya merupakan nasabah
prioritas yang seharusnya dari segi keamanan lebih terjamin. Pelakunya tak lain
dari senior relationship manager (RM) Citibank Landmark, Inong Malinda Dee.
Modus kejahatan Inong adalah menarik dana nasabah tanpa sepengetahuan pemilik
melalui slip penarikan kosong yang sudah ditandatangani nasabah. Aksinya
tersebut dibantu oleh seorang teller bank tersebut.
Sepertinya kasus-kasus
yang terjadi di dunia perbankan ditutup dengan sanksi dari Bank Indonesia (BI)
selaku pengawas perbankan. Kedua kasus yang menimpa Citibank telah berakhir
dengan putusan BI. Sanksi yang diberikan berupa larangan menerima nasabah
prioritas selama satu tahun, stop kartu kredit selama dua tahun dan larangan
menggunakan jasa outsourcing atas tagihan kredit selama dua tahun. Sanksi
terakhir, Citibank dilarang buka cabang selama setahun dan beberapa
eksekutifnya dilakukan uji kelayakan (fit and proper test) kembali.
Dari paparan
kasus-kasus fraud di atas terlihat bahwa pelakunya ternyata selalu melibatkan
orang dalam. “(Sebanyak) 60 persen kejahatan di perbankan dilakukan orang dalam,”
kata Perhimpunan Bank Umum Nasional Sigit Pramono.
ANTI FRAUD
Berulangnya kasus fraud
perbankan dari tahun ke tahun mendorong BI untuk menerbitkan Peraturan Bank
Indonesia (PBI) Anti Fraud. Kabarnya PBI ini akan berlaku serta wajib dipatuhi
seluruh bank pada 2012.
PBI ini berisi
pedoman-pedoman yang harus ditetapkan dalam sistem pengendalian internal bank.
Pedoman tersebut harus mencakup empat tahap, yaitu: Pertama, tahap preventif
yang mencakup penguatan governance, pengawasan aktif dari manajemen, dan
penerapan prinsip know your employee. Selama ini, mungkin yang dikenal oleh
petugas perbankan hanya Know Your Customer (KYC), yaitu bagaimana menjalankan
prinsip kehati-hatian perbankan dengan mengedepankan kejelasan dari dana dan si
nasabah yang akan menabung, tetapi kini telah bertambah dengan prinsip baru
yaitu Know Your Employee.
Kedua, tahap deteksi,
termasuk whistleblowing system, fraud data, dan pelaporannya. Ketiga, tahap
investigasi yang meliputi standar investigasi, evaluasi kelemahan sistem, dan
pengenaan sanksi. Dan keempat, tahap monitoring yang meliputi evaluasi mengenai
asesmen dan appetite risiko fraud yang terjadi di bank.
Peneliti Eksekutif
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) BI Ahmad Berlian
mengatakan, kasus-kasus fraud perbankan sepanjang 2011 memang cukup
mencengangkan. Terutama apa yang menimpa Citibank. Dalam kasus Malinda Dee,
menurutnya priority banking memang cukup rawan karena dalam segmen itu, nasabah
menuntut kemudahan, sehingga menimbulkan peluang untuk berbuat kejahatan.
“Ke depan banyak hal
yang harus disempurnakan, apakah membatasi jumlah relation manager, memberikan
edukasi lebih banyak kepada nasabah, atau transparansi produk-produk yang
ditawarkan. Setiap orang harus sadar apa yang dia beli dan bank wajib
men-declare tingkat risikonya,” jelas Ahmad.
Selain PBI Anti Fraud,
tahun depan juga akan dibuat peringkat fraud bank-bank di Indonesia yang
digagas Lembaga Perbankan Asia Anti Fraud (AAAAF). Setidaknya pemeringkatan ini
menjadi kabar gembira bagi masyarakat yang menjadi nasabah bank. Namun tidak
bagi bank.
Pengamat perbankan dari
Indef, Aviliani, mengatakan rating fraud di industri perbankan dapat memberikan
dampak negatif bagi industri apabila dipublikasikan kepada publik, terutama di
bank yang rating fraud-nya besar. “Nanti ada masalah sistemik yang seharusnya tidak
terjadi. Sebab, masyarakat kita tipikalnya kalau mendengar sesuatu yang negatif
akan kaget. Masyarakat Indonesia belum siap untuk rating fraud ini. Mereka akan
beramai-ramai menarik dananya (rush) di bank yang rating fraud-nya tinggi,”
jelas dia.
Imbasnya, lanjut
Aviliani dalam jangka panjangnya dana
masyarakat yang ditarik itu akan membuat kondisi bank menjadi tidak stabil dan
pada akhirnya merepotkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kecuali kalau rating
dilakukan Bank Indonesi (BI) sendiri. SP