Senin, 04 November 2013

Skenario Kejahatan Bisnis (Melenyapkan Fraud dari Perbankan)

Tidaklah berlebihan jika tahun ini dikatakan sebagai tahun yang berat bagi perbankan dalam menghadapi kecurangan dan kejahatan yang menimpa dirinya. Ya, fraud yang bisa diartikan sebagai kecurangan dan kejahatan di perbankan tampaknya sudah sedemikian mewarnai industri itu sepanjang tahun ini.

Berdasarkan catatan dari Kepolisian Republik Indonesia, ada sederet kasus besar yang menimpa perbankan dengan nilai kerugian miliaran rupiah hingga Oktober 2011. Dibuka dengan kasus pemberian kredit dengan dokumen dan jaminan fiktif pada Bank Internasional Indonesia (BII) pada 31 Januari 2011. Kasus itu melibatkan account officer BII Cabang Pangeran Jayakarta bernama Demy Tridiono Prayitno. Modusnya uang deposito Rp3,7 miliar tidak disetorkan ke BII melainkan dimasukkan ke rekening pribadinya.

Kasus fraud juga menimpa bank terbesar di negeri ini, Bank Mandiri. Lima orang, salah satunya bernama Rika, customer service bank tersebut berhasil melakukan pencairan bilyet deposito tiga nasabah dan ditransfer ke rekening lain. Para pelaku memalsukan tanda tangan di slip penarikan Mandiri cabang Jakarta selatan. Kerugian dari kasus ini mencapai Rp18,7 miliar.

Kemudian kasus fraud juga nyaris membuat Bank Negara Indonesia (BNI) cabang Gambir bobol. Seorang wakil kepala cabang BNI Margonda, Depok, JKD dan tiga pelaku lainnya mengirim telex berisi tandatangan dan stempel yang seolah ada perintah dari pusat kepada BNI Gambir agar membuka rekening pinjaman kepada PT Bogor Jaya Elektrindo senilai Rp4,5 miliar. Namun usahanya gagal, telex palsu yang dikirim sindikat ini terbongkar oleh petugas BNI Gambir.

Selanjutnya kasus fraud pencairan deposito Rp6 miliar milik nasabah oleh pengurus BPR Pundi Artha Sejahtera, Bekasi, Jawa Barat. Pada saat jatuh tempo, nasabah yang ingin mencairkan depositonya dijawab bahwa dananya sudah tidak ada. Kasus ini melibatkan Direktur Utama BPR, dua komisaris, komisaris utama, dan seorang pelaku dari luar bank.

Kasus fraud yang lain terjadi berturut-turut terjadi pada Bank Danamon Cabang Menara, Bank Panin Cabang Metro Sunter dan Bank CIMB Niaga. Di Bank Danamon, modusnya head teller bank itu menarik uang kas nasabah berulang-ulang sebesar Rp1,9 miliar dan 110.000 dollar AS. Di Bank Panin, kepala cabangnya berhasil menggelapkan dana nasabah Rp2,5 miliar dan mengalirkan dana tersebut ke rekening pribadi. Sementara di Bank Niaga, terjadi pembobolan Rp234 miliar yang dilakukan dengan modus memasukkan surat-surat atau dokumen-dokumen palsu sebagai persyaratan dalam mengajukan kredit. Pembobolan bank tersebut murni dilakukan oleh pihak luar, yakni dilakukan oleh Umi Kalsum (Direktur Utama PT Nurama Indotama).

Kasus fraud yang cukup besar terjadi di 2011 yakni konspirasi antara Kepala Cabang Bank Mega Jababeka dan Direktur Keuangan PT Elnusa Tbk. Nilai kerugiannya Rp111 miliar sehingga cukup disorot. Kasus ini terbongkar setelah Elnusa mempertanyakan dana yang ditempatkan di Bank Mega dalam bentuk deposito berjangka. Dana di deposito tersebut telah raib atau dicairkan tanpa sepengetahuan pihak perseroan. Kasus ini sekaligus membongkar kasus lain, yakni hilangnya dana Pemkab Batubara sebesar Rp80 miliar yang juga dibobol Itman Harry Basuki.

Namun yang paling menghebohkan sepanjang 2011 ini adalah dua kasus di Citibank. Kasus Citibank pertama yakni tewasnya SekJend Pemersatu Bangsa Irzen Okta yang diduga karena aksi penganiayaan yang dilakukan oleh para debt collector yang bekerja untuk Citibank. Korban sebelumnya datang kekantor Citibank untuk menyelesaikan tunggakan kreditnya sebesar Rp48 juta yang kemudian ternyata membengkak menjadi Rp100 juta.

Kasus Citibank yang kedua yakni pembobolan dana nasabah prioritas senilai Rp16,6 miliar. Selain nilainya, kejadian ini menjadi heboh karena korbannya merupakan nasabah prioritas yang seharusnya dari segi keamanan lebih terjamin. Pelakunya tak lain dari senior relationship manager (RM) Citibank Landmark, Inong Malinda Dee. Modus kejahatan Inong adalah menarik dana nasabah tanpa sepengetahuan pemilik melalui slip penarikan kosong yang sudah ditandatangani nasabah. Aksinya tersebut dibantu oleh seorang teller bank tersebut.

Sepertinya kasus-kasus yang terjadi di dunia perbankan ditutup dengan sanksi dari Bank Indonesia (BI) selaku pengawas perbankan. Kedua kasus yang menimpa Citibank telah berakhir dengan putusan BI. Sanksi yang diberikan berupa larangan menerima nasabah prioritas selama satu tahun, stop kartu kredit selama dua tahun dan larangan menggunakan jasa outsourcing atas tagihan kredit selama dua tahun. Sanksi terakhir, Citibank dilarang buka cabang selama setahun dan beberapa eksekutifnya dilakukan uji kelayakan (fit and proper test) kembali.

Dari paparan kasus-kasus fraud di atas terlihat bahwa pelakunya ternyata selalu melibatkan orang dalam. “(Sebanyak) 60 persen kejahatan di perbankan dilakukan orang dalam,” kata Perhimpunan Bank Umum Nasional Sigit Pramono.

ANTI FRAUD

Berulangnya kasus fraud perbankan dari tahun ke tahun mendorong BI untuk menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Anti Fraud. Kabarnya PBI ini akan berlaku serta wajib dipatuhi seluruh bank pada 2012.

PBI ini berisi pedoman-pedoman yang harus ditetapkan dalam sistem pengendalian internal bank. Pedoman tersebut harus mencakup empat tahap, yaitu: Pertama, tahap preventif yang mencakup penguatan governance, pengawasan aktif dari manajemen, dan penerapan prinsip know your employee. Selama ini, mungkin yang dikenal oleh petugas perbankan hanya Know Your Customer (KYC), yaitu bagaimana menjalankan prinsip kehati-hatian perbankan dengan mengedepankan kejelasan dari dana dan si nasabah yang akan menabung, tetapi kini telah bertambah dengan prinsip baru yaitu Know Your Employee.

Kedua, tahap deteksi, termasuk whistleblowing system, fraud data, dan pelaporannya. Ketiga, tahap investigasi yang meliputi standar investigasi, evaluasi kelemahan sistem, dan pengenaan sanksi. Dan keempat, tahap monitoring yang meliputi evaluasi mengenai asesmen dan appetite risiko fraud yang terjadi di bank.

Peneliti Eksekutif Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) BI Ahmad Berlian mengatakan, kasus-kasus fraud perbankan sepanjang 2011 memang cukup mencengangkan. Terutama apa yang menimpa Citibank. Dalam kasus Malinda Dee, menurutnya priority banking memang cukup rawan karena dalam segmen itu, nasabah menuntut kemudahan, sehingga menimbulkan peluang untuk berbuat kejahatan.

“Ke depan banyak hal yang harus disempurnakan, apakah membatasi jumlah relation manager, memberikan edukasi lebih banyak kepada nasabah, atau transparansi produk-produk yang ditawarkan. Setiap orang harus sadar apa yang dia beli dan bank wajib men-declare tingkat risikonya,” jelas Ahmad.

Selain PBI Anti Fraud, tahun depan juga akan dibuat peringkat fraud bank-bank di Indonesia yang digagas Lembaga Perbankan Asia Anti Fraud (AAAAF). Setidaknya pemeringkatan ini menjadi kabar gembira bagi masyarakat yang menjadi nasabah bank. Namun tidak bagi bank.

Pengamat perbankan dari Indef, Aviliani, mengatakan rating fraud di industri perbankan dapat memberikan dampak negatif bagi industri apabila dipublikasikan kepada publik, terutama di bank yang rating fraud-nya besar. “Nanti ada masalah sistemik yang seharusnya tidak terjadi. Sebab, masyarakat kita tipikalnya kalau mendengar sesuatu yang negatif akan kaget. Masyarakat Indonesia belum siap untuk rating fraud ini. Mereka akan beramai-ramai menarik dananya (rush) di bank yang rating fraud-nya tinggi,” jelas dia.


Imbasnya, lanjut Aviliani dalam  jangka panjangnya dana masyarakat yang ditarik itu akan membuat kondisi bank menjadi tidak stabil dan pada akhirnya merepotkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kecuali kalau rating dilakukan Bank Indonesi (BI) sendiri. SP

Tidaklah berlebihan jika tahun ini dikatakan sebagai tahun yang berat bagi perbankan dalam menghadapi kecurangan dan kejahatan yang menimpa dirinya. Ya, fraud yang bisa diartikan sebagai kecurangan dan kejahatan di perbankan tampaknya sudah sedemikian mewarnai industri itu sepanjang tahun ini.

Berdasarkan catatan dari Kepolisian Republik Indonesia, ada sederet kasus besar yang menimpa perbankan dengan nilai kerugian miliaran rupiah hingga Oktober 2011. Dibuka dengan kasus pemberian kredit dengan dokumen dan jaminan fiktif pada Bank Internasional Indonesia (BII) pada 31 Januari 2011. Kasus itu melibatkan account officer BII Cabang Pangeran Jayakarta bernama Demy Tridiono Prayitno. Modusnya uang deposito Rp3,7 miliar tidak disetorkan ke BII melainkan dimasukkan ke rekening pribadinya.

Kasus fraud juga menimpa bank terbesar di negeri ini, Bank Mandiri. Lima orang, salah satunya bernama Rika, customer service bank tersebut berhasil melakukan pencairan bilyet deposito tiga nasabah dan ditransfer ke rekening lain. Para pelaku memalsukan tanda tangan di slip penarikan Mandiri cabang Jakarta selatan. Kerugian dari kasus ini mencapai Rp18,7 miliar.

Kemudian kasus fraud juga nyaris membuat Bank Negara Indonesia (BNI) cabang Gambir bobol. Seorang wakil kepala cabang BNI Margonda, Depok, JKD dan tiga pelaku lainnya mengirim telex berisi tandatangan dan stempel yang seolah ada perintah dari pusat kepada BNI Gambir agar membuka rekening pinjaman kepada PT Bogor Jaya Elektrindo senilai Rp4,5 miliar. Namun usahanya gagal, telex palsu yang dikirim sindikat ini terbongkar oleh petugas BNI Gambir.

Selanjutnya kasus fraud pencairan deposito Rp6 miliar milik nasabah oleh pengurus BPR Pundi Artha Sejahtera, Bekasi, Jawa Barat. Pada saat jatuh tempo, nasabah yang ingin mencairkan depositonya dijawab bahwa dananya sudah tidak ada. Kasus ini melibatkan Direktur Utama BPR, dua komisaris, komisaris utama, dan seorang pelaku dari luar bank.

Kasus fraud yang lain terjadi berturut-turut terjadi pada Bank Danamon Cabang Menara, Bank Panin Cabang Metro Sunter dan Bank CIMB Niaga. Di Bank Danamon, modusnya head teller bank itu menarik uang kas nasabah berulang-ulang sebesar Rp1,9 miliar dan 110.000 dollar AS. Di Bank Panin, kepala cabangnya berhasil menggelapkan dana nasabah Rp2,5 miliar dan mengalirkan dana tersebut ke rekening pribadi. Sementara di Bank Niaga, terjadi pembobolan Rp234 miliar yang dilakukan dengan modus memasukkan surat-surat atau dokumen-dokumen palsu sebagai persyaratan dalam mengajukan kredit. Pembobolan bank tersebut murni dilakukan oleh pihak luar, yakni dilakukan oleh Umi Kalsum (Direktur Utama PT Nurama Indotama).

Kasus fraud yang cukup besar terjadi di 2011 yakni konspirasi antara Kepala Cabang Bank Mega Jababeka dan Direktur Keuangan PT Elnusa Tbk. Nilai kerugiannya Rp111 miliar sehingga cukup disorot. Kasus ini terbongkar setelah Elnusa mempertanyakan dana yang ditempatkan di Bank Mega dalam bentuk deposito berjangka. Dana di deposito tersebut telah raib atau dicairkan tanpa sepengetahuan pihak perseroan. Kasus ini sekaligus membongkar kasus lain, yakni hilangnya dana Pemkab Batubara sebesar Rp80 miliar yang juga dibobol Itman Harry Basuki.

Namun yang paling menghebohkan sepanjang 2011 ini adalah dua kasus di Citibank. Kasus Citibank pertama yakni tewasnya SekJend Pemersatu Bangsa Irzen Okta yang diduga karena aksi penganiayaan yang dilakukan oleh para debt collector yang bekerja untuk Citibank. Korban sebelumnya datang kekantor Citibank untuk menyelesaikan tunggakan kreditnya sebesar Rp48 juta yang kemudian ternyata membengkak menjadi Rp100 juta.

Kasus Citibank yang kedua yakni pembobolan dana nasabah prioritas senilai Rp16,6 miliar. Selain nilainya, kejadian ini menjadi heboh karena korbannya merupakan nasabah prioritas yang seharusnya dari segi keamanan lebih terjamin. Pelakunya tak lain dari senior relationship manager (RM) Citibank Landmark, Inong Malinda Dee. Modus kejahatan Inong adalah menarik dana nasabah tanpa sepengetahuan pemilik melalui slip penarikan kosong yang sudah ditandatangani nasabah. Aksinya tersebut dibantu oleh seorang teller bank tersebut.

Sepertinya kasus-kasus yang terjadi di dunia perbankan ditutup dengan sanksi dari Bank Indonesia (BI) selaku pengawas perbankan. Kedua kasus yang menimpa Citibank telah berakhir dengan putusan BI. Sanksi yang diberikan berupa larangan menerima nasabah prioritas selama satu tahun, stop kartu kredit selama dua tahun dan larangan menggunakan jasa outsourcing atas tagihan kredit selama dua tahun. Sanksi terakhir, Citibank dilarang buka cabang selama setahun dan beberapa eksekutifnya dilakukan uji kelayakan (fit and proper test) kembali.

Dari paparan kasus-kasus fraud di atas terlihat bahwa pelakunya ternyata selalu melibatkan orang dalam. “(Sebanyak) 60 persen kejahatan di perbankan dilakukan orang dalam,” kata Perhimpunan Bank Umum Nasional Sigit Pramono.

ANTI FRAUD

Berulangnya kasus fraud perbankan dari tahun ke tahun mendorong BI untuk menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Anti Fraud. Kabarnya PBI ini akan berlaku serta wajib dipatuhi seluruh bank pada 2012.

PBI ini berisi pedoman-pedoman yang harus ditetapkan dalam sistem pengendalian internal bank. Pedoman tersebut harus mencakup empat tahap, yaitu: Pertama, tahap preventif yang mencakup penguatan governance, pengawasan aktif dari manajemen, dan penerapan prinsip know your employee. Selama ini, mungkin yang dikenal oleh petugas perbankan hanya Know Your Customer (KYC), yaitu bagaimana menjalankan prinsip kehati-hatian perbankan dengan mengedepankan kejelasan dari dana dan si nasabah yang akan menabung, tetapi kini telah bertambah dengan prinsip baru yaitu Know Your Employee.

Kedua, tahap deteksi, termasuk whistleblowing system, fraud data, dan pelaporannya. Ketiga, tahap investigasi yang meliputi standar investigasi, evaluasi kelemahan sistem, dan pengenaan sanksi. Dan keempat, tahap monitoring yang meliputi evaluasi mengenai asesmen dan appetite risiko fraud yang terjadi di bank.

Peneliti Eksekutif Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) BI Ahmad Berlian mengatakan, kasus-kasus fraud perbankan sepanjang 2011 memang cukup mencengangkan. Terutama apa yang menimpa Citibank. Dalam kasus Malinda Dee, menurutnya priority banking memang cukup rawan karena dalam segmen itu, nasabah menuntut kemudahan, sehingga menimbulkan peluang untuk berbuat kejahatan.

“Ke depan banyak hal yang harus disempurnakan, apakah membatasi jumlah relation manager, memberikan edukasi lebih banyak kepada nasabah, atau transparansi produk-produk yang ditawarkan. Setiap orang harus sadar apa yang dia beli dan bank wajib men-declare tingkat risikonya,” jelas Ahmad.

Selain PBI Anti Fraud, tahun depan juga akan dibuat peringkat fraud bank-bank di Indonesia yang digagas Lembaga Perbankan Asia Anti Fraud (AAAAF). Setidaknya pemeringkatan ini menjadi kabar gembira bagi masyarakat yang menjadi nasabah bank. Namun tidak bagi bank.

Pengamat perbankan dari Indef, Aviliani, mengatakan rating fraud di industri perbankan dapat memberikan dampak negatif bagi industri apabila dipublikasikan kepada publik, terutama di bank yang rating fraud-nya besar. “Nanti ada masalah sistemik yang seharusnya tidak terjadi. Sebab, masyarakat kita tipikalnya kalau mendengar sesuatu yang negatif akan kaget. Masyarakat Indonesia belum siap untuk rating fraud ini. Mereka akan beramai-ramai menarik dananya (rush) di bank yang rating fraud-nya tinggi,” jelas dia.

Imbasnya, lanjut Aviliani dalam  jangka panjangnya dana masyarakat yang ditarik itu akan membuat kondisi bank menjadi tidak stabil dan pada akhirnya merepotkan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kecuali kalau rating dilakukan Bank Indonesi (BI) sendiri. SP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar